Oleh : Agus pamuji
______________
Journalism
JOMBANG,jagaddesa 86.com — Di tengah geliat kehidupan masyarakat Jombang yang dikenal sebagai kota santri, sebuah anekdot tajam namun menggelitik kerap terdengar dalam berbagai ruang diskusi informal: “Jombang akeh macane, ning alase kobong.” (Jombang banyak macannya, tapi hutannya terbakar).
Ungkapan ini bukan sekadar guyonan warung kopi. Ia menyimpan kritik sosial yang mendalam, yang tak hanya dilontarkan oleh rakyat biasa, namun juga oleh para tokoh agama, politisi, akademisi, sejarawan, pengusaha, hingga pejabat pemerintahan. Dalam konteks ini, "macan" menjadi simbol bagi tokoh-tokoh besar asal Jombang—orang-orang hebat yang telah menorehkan pengaruh di kancah nasional.
Namun, ironi pun muncul. Di balik deretan tokoh nasional yang lahir dari bumi Jombang, masyarakat di akar rumput masih dihadapkan pada persoalan klasik: ketimpangan sosial dan ekonomi, birokrasi yang lamban dan berbelit, praktik pungutan liar, korupsi, serta akses layanan publik yang jauh dari ideal. Pendidikan yang belum merata, layanan kesehatan yang belum menjangkau semua lapisan masyarakat, dan angka kemiskinan yang masih mengkhawatirkan, menjadi potret buram di tengah gemerlap nama besar yang dibawa para "macan" Jombang.
Anekdot "hutan terbakar" menjadi metafora dari sistem sosial-politik dan tata kelola pemerintahan yang dinilai gagal menjadi ruang tumbuh yang adil dan merata. Yang lemah terpinggirkan, suara minor kerap tak terdengar, dan kekuasaan seolah menjadi milik kelompok elite yang saling mengunci kepentingan.
Jombang memang tak kekurangan sumber daya manusia unggul. Namun kehadiran para tokoh besar tidak serta-merta menjamin kemajuan daerah secara menyeluruh. Justru, ketika para "macan" lebih sibuk berkiprah di luar, lupa mengayomi dan membenahi kampung halaman, yang tersisa hanyalah bara ketidakadilan dan stagnasi pembangunan. Bahkan sedikit letupan persoalan di tingkat desa saja bisa menggema hingga skala nasional, karena Jombang adalah barometer penting umat Islam Nusantara—referensi moral dan intelektual yang diperhitungkan secara luas.
Anekdot ini, sejatinya, adalah alarm. Sebuah peringatan bahwa kemajuan suatu daerah tidak bisa hanya mengandalkan simbol kekuasaan atau nama besar. Diperlukan sistem, kepemimpinan, dan komitmen kolektif untuk menjaga "hutan" tetap lestari—sebagai ruang hidup yang adil bagi semua.
Sudah waktunya para "macan" Jombang kembali ke hutan asalnya. Bukan hanya menjadi legenda di panggung nasional, tetapi juga menjadi pelindung, pengayom, dan penyemai perubahan di tanah kelahiran. Jadilah macan yang tawadhu, yang merunduk dalam keagungan spiritualitas, bukan yang mengaum karena lapar akan kekuasaan.
Sebab jika hutan terus terbakar, maka yang tersisa hanyalah cerita tentang kejayaan masa lalu—tanpa warisan nyata bagi generasi yang akan datang. Maka dari itu, mari kembalikan agama sebagai fondasi nilai dan spiritualitas, bukan sekadar alat legitimasi. Bangun kembali ekosistem sosial yang damai dan adil, demi masa depan Jombang yang lebih bermartabat.(Aza)