zmedia

Proyek Tugu Perbatasan Jombang Rp1,03 Miliar Picu Polemik: Antara Simbol Identitas dan Sentuhan Timur Tengah

Proyek Tugu Perbatasan Jombang Rp1,03 Miliar Picu Polemik: Antara Simbol Identitas dan Sentuhan Timur Tengah

JOMBANG,jagaddesa86.com – Suasana hangat dan penuh canda di sebuah grup WhatsApp para mantan aktivis Jombang mendadak berubah tegang dalam beberapa hari terakhir. Bukan karena isu politik nasional atau kontestasi partai, melainkan sebuah proyek tugu perbatasan senilai Rp1,03 miliar yang rencananya akan dibangun menggunakan dana APBD 2025.

Proyek ini digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan “Bumi Santri”, lengkap dengan sentuhan arsitektur Islami. Namun, desain tugu yang bocor ke publik justru menuai kontroversi dari sejumlah budayawan, seniman, hingga aktivis yang selama ini konsisten menjaga ruh lokal Jombang.

Salah satu suara kritis datang dari Sri Krishna, seniman jaranan yang dikenal vokal dalam isu kebudayaan. “Kalau tugu Jombang, harus ngerti falsafah Jombang. Warna hijau dan merah itu bukan asal pilih, itu simbol. Harus ada perpaduan budaya Islam dan adat Jawa. Sesuai ajaran Sunan Kalijaga: Islam yang dijawakan, bukan Jawa yang diarabkan,” tegasnya, Jumat (4/7).

Menurutnya, desain yang kini beredar justru lebih menyerupai ornamen masjid Timur Tengah. “Lek terus ngono, menungsa Jombang iki dadi Arab? Ora iso njowo maneh?” kritiknya dengan nada tajam.

Identitas Lokal dalam Ancaman Desain Visual

Sebagai kota yang lekat dengan identitas santri, Jawa, dan nasionalisme, Jombang dikenal sebagai tempat lahir para pemikir besar dan pejuang budaya. Tugu—dalam tradisi Jawa—bukan sekadar penanda geografis, melainkan lambang spiritual dan filosofi hidup.

Bagi para aktivis budaya, proyek ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan tafsir simbolik atas identitas kolektif masyarakat Jombang. Kekhawatiran muncul bahwa desain yang tidak kontekstual bisa menggerus akar budaya lokal yang telah lama mengakar.

“Iki tanah Jawa, dudu tanah Arab,” ujar Sri Krishna menegaskan.

Fungsi Sosial yang Terabaikan

Tak hanya bentuk yang dikritisi. Hari, seorang aktivis LSM dan kader Pemuda Pancasila Jombang, menyoroti sisi lain dari pembangunan tugu: fungsi sosialnya.

“Taman dan tugu sering jadi titik berkumpul anak-anak muda. Kalau tidak dikawal, rawan disalahgunakan jadi tempat mesum. Ini harus dipikirkan dari awal,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa setiap infrastruktur publik harus dibangun dengan mempertimbangkan nilai edukatif dan fungsi sosial yang bermanfaat. “Jangan sampai uang rakyat justru melahirkan ruang yang tidak membawa kebaikan.”

Ketiadaan Partisipasi Publik

Lebih jauh, para anggota grup aktivis itu mempertanyakan proses perencanaan proyek yang minim pelibatan masyarakat. Tidak terdengar adanya forum diskusi dengan budayawan, tokoh masyarakat, atau kelompok pemuda dalam menentukan bentuk dan filosofi tugu tersebut.

“Kalau desainnya dilombakan lebih dulu, tentu akan lahir banyak gagasan kreatif yang tetap berakar pada kearifan lokal,” ujar Miftahussaidin, pengurus PCNU Jombang.

Ia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proyek-proyek bernilai simbolik agar tidak sekadar menjadi monumen hampa makna.

Tugu: Simbol atau Sekadar Proyek?

Terlepas dari bagaimana wujud akhir tugu itu kelak—berbentuk kubah atau menyerupai candi—perdebatan ini telah membuka ruang penting bagi refleksi bersama: bahwa identitas bukan hanya soal rupa, tapi kesadaran kolektif akan sejarah, nilai, dan arah masa depan.

Di Jombang, kota yang menjadi titik temu antara pesantren, budaya Jawa, dan nasionalisme, proyek seperti ini semestinya tidak hanya menjadi domain para arsitek dan kontraktor. Suara masyarakat harus menjadi bagian penting dalam menata wajah kota.(Nad)