zmedia

Wakil Ketua DPRD Jombang Dukung Fatwa MUI Terkait Sound Horeg: "Harus Ada Keadilan dan Pembelajaran yang Baik"

Wakil Ketua DPRD Jombang, H. Syarif Hidayatulloh

Jombang,jagaddesa86.com 17 Juli 2025 — Isu seputar penggunaan sound system berdaya tinggi atau yang populer dikenal sebagai sound horeg terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Tak hanya menjadi perhatian para ulama dan akademisi, persoalan ini juga menarik perhatian para wakil rakyat, termasuk dari kalangan pondok pesantren.

Wakil Ketua DPRD Jombang, H. Syarif Hidayatulloh, menyatakan sikap tegasnya terkait polemik penggunaan sound horeg yang belakangan ini menuai pro dan kontra. Dalam pernyataannya kepada awak media, ia menyampaikan dukungan penuh terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta arahan dari para kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak negatif dari penggunaan sound horeg secara berlebihan.

> “Saya menghormati dan mengikuti apa yang telah difatwakan tersebut. Kalau toh nanti diperbolehkan, saya berharap sound horeg ini dari tingkat kebisingan kemudian dari sisi moral itu bisa diperbaiki. InsyaAllah kita semua bisa menerima,” ujar pria yang akrab disapa Gus Syarif ini, Kamis (17/7/2025).



Menurutnya, kebisingan yang ditimbulkan oleh sound horeg tidak hanya menimbulkan gangguan kenyamanan warga, tetapi juga memiliki dampak psikologis dan moral yang harus menjadi perhatian semua pihak. Ia menyoroti beberapa insiden di mana akibat euforia berlebihan dalam acara-acara hiburan yang menggunakan sound horeg, sejumlah fasilitas umum justru menjadi korban.

> “Apalagi yang tidak boleh dilupakan, kita juga pernah melihat ada fenomena gara-gara sound horeg kita bongkar jembatan, kita bongkar gapura atau fasilitas umum lainnya. Saya sadar banyak masyarakat yang kompak mengatakan tidak apa-apa, nanti diganti atau dibangun lagi. Tapi tetap saja dari sisi pendidikan masyarakat, itu bukan pembelajaran yang baik,” ujarnya penuh keprihatinan.



Politisi yang juga dikenal sebagai tokoh santri ini mengingatkan bahwa hiburan seharusnya tetap mengandung nilai-nilai edukatif, tidak justru mendorong perilaku konsumtif atau anarkis. Dalam konteks Jombang yang dikenal sebagai kota santri, ia menegaskan bahwa etika dan adab dalam menyelenggarakan hiburan harus dijaga, apalagi bila melibatkan generasi muda.

Sementara itu, Gus Sentot, tokoh muda Nahdliyyin sekaligus aktivis kebudayaan Jombang, menambahkan pentingnya adanya keadilan dalam penerapan regulasi terkait penggunaan sound horeg. Ia meminta agar aparat penegak hukum dan pemerintah daerah bertindak secara adil, tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan.

> “Masyarakat menunggu keadilan. Misal di satu tempat boleh, tapi di tempat lain tidak boleh padahal kondisi sama. Ini menimbulkan kecemburuan. Saya harapkan aparat bertindak adil dan tegas,” tegasnya.



Ia juga menekankan bahwa suara-suara masyarakat yang ingin menikmati hiburan dengan sound horeg secara teratur dan sehat juga harus diberi ruang, namun tentu dalam koridor aturan dan etika yang disepakati bersama.

> “Bukan menolak hiburan, tapi harus ada keseimbangan antara hak menikmati hiburan dan kewajiban menjaga ketertiban serta nilai moral. Dalam Islam sendiri, hiburan boleh selama tidak melampaui batas,” tambah Gus Sentot.



Seperti diketahui, belakangan ini berbagai pihak termasuk MUI, kalangan pondok pesantren, dan tokoh masyarakat di Jawa Timur telah menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap maraknya penggunaan sound horeg yang dinilai berlebihan. Dalam beberapa kasus, penggunaan sound tersebut juga dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi miras dan pergaulan bebas, terutama di kalangan remaja.

Fatwa MUI dan sikap para kiai yang menginginkan penertiban bahkan pelarangan sound horeg di beberapa wilayah disambut positif oleh masyarakat pesantren. Namun, di sisi lain, kelompok pelaku usaha hiburan dan penyedia jasa sound system berharap adanya kebijakan yang tidak merugikan mata pencaharian mereka.

Oleh karena itu, suara dari Wakil Ketua DPRD Jombang ini diharapkan menjadi titik temu untuk mempertemukan aspirasi berbagai pihak: antara yang ingin menjaga ketertiban dan moral masyarakat, dan yang ingin tetap bisa berkreasi dan menghidupkan hiburan lokal.

Jombang sebagai kota santri tidak anti hiburan, tetapi menempatkan adab dan tata nilai sebagai fondasi. Diskusi mengenai sound horeg ini pun sejatinya menjadi pengingat bahwa dalam setiap aktivitas publik, keseimbangan antara hak dan tanggung jawab harus senantiasa dijaga.(Mif)