zmedia

Kang Pithil mc suara hati angota lesbumi pc nu jombang untuk Ketertiban dan Adab Bunyi


JOMBANG, Jagaddesa86.com – Perdebatan mengenai penggunaan sound system berkekuatan tinggi, yang kerap disebut sound horeg, kembali menjadi sorotan publik. Isu ini mengemuka terutama ketika penggunaan sound tersebut tidak disesuaikan dengan konteks acara dan tempat, seperti dalam kegiatan keagamaan yang berlangsung di dekat pesantren atau pemukiman padat.

Sikap tegas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para kiai sepuh Nahdlatul Ulama yang menyerukan ketertiban dan adab dalam penggunaan sound system mendapat dukungan dari kalangan seniman NU. Salah satunya datang dari Kang Pithil, MC kawakan sekaligus anggota Lesbumi PCNU Jombang.

> “Saya sejalan dengan arahan para kiai sepuh dan MUI. Sound horeg itu tidak cocok untuk acara pengajian atau hiburan di dekat pesantren. Suara yang keluar kadang tidak seimbang—hanya bass dan middle yang dominan, sementara vokal hilang. Alhasil, pesan dakwah atau nyanyian jadi tidak sampai dan malah memicu kegaduhan,” ujar Kang Pithil kepada Jagaddesa86.com.

Tak berhenti di situ, Kang Pithil mengajak para pelaku seni, khususnya insan dangdut di Jombang, untuk ikut bersuara secara terbuka dan bijak demi kebaikan bersama.
> “Saya yakin teman-teman seniman dangdut punya wawasan dan pengalaman yang baik. Jangan hanya saya yang bersuara. Mari tunjukkan bahwa kita sebagai seniman NU punya tanggung jawab moral untuk menjaga ketertiban dan nilai,” ajaknya.

Pandangan Masyarakat NU dan Umum: Ada Dua Sisi
Dalam pengamatan di lapangan, masyarakat memiliki pandangan beragam terhadap sound horeg:
Sisi Positif, menurut sebagian warga, sound horeg bisa menjadi sarana ekspresi seni, membangkitkan semangat masyarakat, dan menghidupkan suasana acara hajatan, konser, maupun pasar malam. Bagi kalangan muda, sound yang besar dan berdaya tinggi dianggap sebagai bentuk kemajuan teknologi hiburan.

Namun sisi Negatifnya, seperti disampaikan oleh banyak tokoh NU, adalah ketika penggunaannya tidak mengenal batas. Suara yang terlalu keras sering mengganggu waktu istirahat warga, mengganggu kegiatan belajar santri, hingga menimbulkan keresahan sosial. Bahkan, dalam beberapa kasus, suara berlebihan dinilai mencederai nilai-nilai kesopanan dan keteduhan yang dijunjung tinggi dalam tradisi Islam Nusantara.

> “Kesenian bukan soal keras-kerasan suara, tapi bagaimana suara bisa menyentuh hati. Kita ini hidup di bumi pesantren, di tanah adab. Mari kita rawat seni dengan ruh keindahan, bukan dengan kegaduhan,” tutur Kang Pithil penuh harap.

Ajakan Musyawarah dan Kesepahaman
Di akhir pernyataannya, Kang Pithil mengajak seluruh pihak—dari pemilik sound system, pelaku seni, hingga tokoh masyarakat—untuk duduk bersama dan menyusun kesepahaman.
> “Bermusik itu boleh, bahkan dianjurkan jika membawa manfaat. Tapi jangan sampai mengganggu. Mari kita jaga harmoni antara seni, ketertiban, dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat. Itu yang selalu diajarkan para kiai kita,” pungkasnya.(Lilis)