JOMBANG, jagaddesa86.com – Sabtu Pahing, 19 Juli 2025, Desa Keras, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang kembali mengukir jejak budaya yang sarat makna melalui gelaran "Pawahi Budaya" – sebuah tradisi tahunan yang menjadi wadah spiritual, sosial, dan kultural masyarakat dalam merawat warisan leluhur sekaligus mensyukuri limpahan berkah hasil bumi.
Dengan semangat guyub rukun, acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB. Kirab budaya menjadi pembuka yang menggugah hati: ratusan warga, mulai dari tokoh masyarakat, perangkat desa, pelaku seni lokal, hingga siswa-siswi sekolah dasar dan menengah, larut dalam parade penuh warna yang membawa simbol-simbol hasil bumi. Tampak berderet gunungan sayur-mayur, padi, buah-buahan, serta sesajen sebagai perlambang syukur dan penghormatan pada alam semesta.
Busana adat yang dikenakan para peserta menjadi penanda bahwa di balik modernitas yang terus bergulir, ruh budaya masih menyala terang. Arak-arakan menyusuri jalan desa dengan iringan musik tradisional dan lantunan doa-doa dari para sesepuh yang menyisipkan harapan agar masyarakat senantiasa diberi keselamatan, kesehatan, serta hasil panen yang berlimpah.
Kepala Desa Keras, Sukardi, dalam sambutannya, menyampaikan rasa haru dan bangganya terhadap semangat warganya. “Pawahi Budaya bukan hanya seremoni. Ini adalah pengingat bahwa kita hidup bukan hanya dari kerja keras, tetapi juga dari restu leluhur, berkah bumi, dan izin Allah Swt. Saya bangga melihat anak-anak muda ikut menjaga tradisi ini,” tutur Sukardi penuh semangat.
Hadir pula jajaran Forkopimcam Diwek — Camat, Danramil, dan Kapolsek — sebagai bentuk dukungan nyata dari pemerintah kecamatan dalam menjaga dan menghidupkan budaya lokal. Mereka berdiri di barisan masyarakat, melebur dalam semangat silaturahmi, tanpa sekat antara pejabat dan rakyat.
Puncak kegiatan berlangsung khidmat dalam tasyakuran dan doa bersama yang dipimpin oleh KH. Musthofa Mahfud, tokoh agama dan pengasuh langgar tua di desa tersebut. Dalam doa-doanya, ia menyampaikan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya, serta memohon agar Desa Keras dijauhkan dari pagebluk, bencana, dan fitnah zaman. “Pawahi adalah munajat kita kepada langit dan bumi. Sebagaimana para leluhur dahulu menanam dengan doa, kita pun harus memanen dengan syukur,” ujar sang kiai penuh makna.
Tak hanya ritual, "Pawahi Budaya" menjadi ruang edukasi nilai-nilai lokal dan spiritual bagi generasi muda. Pelajar yang terlibat sejak awal acara tampak terlibat aktif: mulai dari menyiapkan gunungan, menampilkan pentas seni tradisional, hingga turut menyimak pesan-pesan budaya dan moral yang disampaikan para sesepuh. Ini menunjukkan bahwa estafet budaya tengah berpindah tangan — dari tua ke muda, dari leluhur ke pewaris.
Bagi masyarakat Desa Keras, Pawahi bukan sekadar pelestarian adat, tapi juga perwujudan identitas kolektif sebagai manusia Jawa yang eling lan waspada, serta umat Islam yang nguri-uri tradisi sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Sang Khalik.
Dengan semangat ngayahi bebrayan, acara ditutup dengan makan bersama ala bancakan, di mana tak ada lagi sekat antara petani, guru, santri, kiai, hingga pejabat. Semua duduk bersila, menyantap berkat dari bumi — sebagai tanda bahwa dalam Pawahi, semua manusia kembali ke asal: sama-sama tamu di bumi Tuhan.
Pawahi Budaya Desa Keras tahun ini bukan hanya sukses dalam penyelenggaraan, tetapi juga dalam menyentuh relung batin masyarakat. Ia hadir sebagai pengingat bahwa di tengah arus zaman dan perkembangan teknologi, ada satu hal yang tak boleh luntur: mencintai warisan budaya sendiri, merawatnya, dan meneruskannya kepada anak cucu.(Thil)